achmad bakrie |
Tahun 1916. Desaku kaliandra, lampung penuh dengan sawah yang subur. Setiap hari ketika matahari belum terbit ayahku sudah pagi-pagi pergi bertani, aku selalu menyertainya hingga dapat melihat matahari terbit nan indah setiap pagi bersama kakakku. Aku selalu ingat kalimat yang diucapkan oleh ayahku,
” untuk menjadi orang besar kelak aku harus sekolah dan mengenyam pendidikan tinggi ”.
Tapi kami hanya dari keluarga petani miskin dan untuk mencapai impian itu orang tuaku harus mengencangkan perutnya setiap harinya dari rasa lapar. Orang tuaku tidak pernah mengeluh walau hanya makan nasi dengan sedikit garam atau sedang mujur bersama ikan asin. Mereka rela berkorban hanya untuk memiliki satu tujuan kelak agar aku dan kakakku menjadi orang besar dan merubah nasib kami yang seorang petani miskin.
Tidak akan pernah kulupakan masa-masa kecilku yang begitu terasa indah saat aku bangun pagi. biasanya aku bangun pukul 5 subuh untuk ikut ayahku ke sawah setelah sampai aku langsung membajak sawah dengan kerbau yang besar dan kuat. Setelah matahari mulai terlihat, aku berpamitan kepada ayahku untuk menempuh jarak sekiranya 5 km untuk mencapai sekolahku di Holandsch Inlandsche school dengan hanya beralaskan kaki penuh lumpur. Teman-temanku banyak yang hidupnya lebih baik dariku, walau demikian aku bersyukur setidaknya aku masih bisa sekolah walau hanya dengan pakaian kusam dan bau keringat yang setiap datang selalu membasahi tubuhku yang hitam mungil sehingga banyak yang melihatku dengan sekilas mata.
Hal yang kusukai ketika bersekolah adalah belajar menulis, menghitung dan membaca sejarah. Pada masa itu, Sumatra masih dipimpin oleh ratu Belanda, kami mengalami masa-masa sulit ketika sistem tanam paksa berlaku di setiap tanah jajahan. Setiap pulang sekolah sambil mengingat-ingat apa yang kupelajari, aku langsung kembali ke sawah untuk membantu ayahku, terkadang aku tertidur diatas kerbau dan kalau sudah begitu ayahku akan membangunkanku untuk tidur di rumah sawah yang hangat sambil menunggu ibuku membawa makan.
Walau kami hidup dalam kesulitan, kami sangat bahagia atas apa yang kami miliki dan bersyukur diberikan kesehatan yang maha baik oleh Tuhan. Itulah ajaran ibuku yang selalu kutanam dalam-dalam tentang bagaimana mensyukuri kehidupan dalam kondisi apapun. Keluargaku bukanlah keluarga pedagang, dan tidak memiliki darah mahir berdagang, tapi aku pernah mempelajari bagaimana berhitung mencari keuntungan di sekolahku dan bermimpi kelak bisa mewujubkan impianku memiliki sedikit uang agar bisa memberi baju baru serta sepatu untuk sekolah.
Semua itu mulai terwujub ketika usiaku 7 tahun dan pulang dari sekolah, tiba-tiba hujan datang dan aku melihat seorang ibu sedang menjajahkan kue di depan warungnya yang kecil. Aku berteduh di warungnya dengan meminta izin, lalu melihat kue yang ia jajahkan rasanya perutku langsung berbunyi. Tidak mungkin bagiku untuk membeli kue itu karena sepeser sen pun aku tidak punya. Ibu yang baik itu melihat aku begitu kelaparan lalu menawarkan aku rotinya;
“ Kamu lapar nak?” tanyanya dan aku menganggukan kepala.
“ Siapa namamu?”
“ Namaku Achmad.. Achmad Bakrie..”
“ Pilihlah satu kue yang kamu suka dan habiskanlah”
“ Tapi aku tidak punya uang untuk membayar kue ibu..”
“ Kamu tidak perlu membayarnya, itu ibu berikan Cuma- Cuma. Ayo ambil.. jangan malu-malu” paksanya dan aku tidak akan lagi malu-malu.
Ketika hujan telah usai, aku bermaksud untuk berpamitan dari ibu yang baik itu dan beliau juga sedang membereskan dagangannya karena hendak pulang, dengan wajah penuh kesedihan ia berkata padaku.
“ Hari ini dagangan ibu tidak begitu laku, semoga besok cuaca cukup bersahabat dan banyak orang yang akan membeli kue ibu.”
Karena ibu itu begitu baik, aku langsung menawarkan kepada ibu itu.
“ Ibu, di desaku pasti akan banyak yang suka kue ibu, bagaimana kalau aku menjualnya di sana?”
Ibu itu tersenyum.
” Baiklah aku akan sangat senang bila kamu bisa menjualnya, kuberikan 10 kue ini, jualah dengan harga 3 sen, aku akan membagimu 1 sen setiap kue itu terjual ”
Aku tidak pernah berdagang sebelumnya tapi aku percaya, bahwa bila aku mau mencobanya tidak akan ada salahnya, toh ibu itu tidak akan marah bila dagangannya tidak habis. Kami sepakat untuk bertemu besok dan aku akan membayarkan hasil jualanku. Aku terharu karena ibu itu percaya padaku yang masih berusia 7 tahun. Dengan semangat aku menjajahkan kue-kue itu di setiap rumah-rumah di desaku, aku begitu bahagia ketika satu kue ku terjual hingga terpeleset ke lumpur, beruntung hanya satu kue yang tercebur. aku melanjutkan daganganku dan sungguh sulit dipercaya hari itu aku bisa menjual 9 dari 10 kue itu.
Aku pulang dengan penuh senyum yang disambut ibuku dengan berpikir aku sakit demam panas karena kehujangan. Lalu kuceritakan semua kejadian hari ini pada orang tuaku, mereka hanya bisa tersenyum manyut melihat sekiranya aku memiliki 9 sen dari hasil penjualanku hari ini. Saat itu aku jadi berpikirdan merenung sepanjang malam untuk meminta izin kepada ayahku agar tidak bertani dan membiarkanku berjualan saja. Ayah setuju dan tugasku akan digantikan oleh kakakku. Keesokan harinya, aku mendatangi ibu yang baik hati itu sambil menyerahkan kue yang sudah kujual dan tersisa satu.
Ia terkejut dan merasa kaget, awalnya ia hanya berpikir kue itu hendak ia berikan kepadaku sebagai oleh-oleh tangan karena toh akan basi bila ia simpang di rumah, ternyata aku malah menjualnya. Aku ceritakan kepadanya tentang sisa 1 yang tak bisa kujual karena terjatuh di tanah berlumpur. Ia tersenyum dan menghargaiku kejujuran yang kumiliki. ketika aku menawarkan diri untuk membantunya berdagang dengan sistem bagi hasil, Ia sepakat. Tanpa tending aling-aling ia langsung memberikan aku sebuah tampah dan kue miliknya sebagai modal pertamaku. sejak saat itu jadilah aku seorang pedagang kue cilik di sekitar desaku dengan panggilan bocah penjual kue.
Aku berdagang setiap pulang sekolah dengan berjalan kaki sambil membaca buku dibawah terik matahari panas. lalu aku mengetuk satu persatu rumah di desa terdekat sambil menjual kue. Ada yang membeli dan ada pula yang hanya melihat-lihat. Penjualanku tidak pasti, kalau sedang baik aku bisa menjual habis dalam waktu beberapa jam. Tapi kadang ketika sedang buruk, hingga sorepun aku hanya menjual setengahnya. Aku tidak menyerah, kulangkahkan kakiku ke desa-desa pelosok untuk menjual kue ini hingga terkadang pulang larut malam.
Ibuku cukup cemas bila melihatku pulang malam, tapi ia bersyukur bila aku pulang dengan keadaan baik-baik saja, biasanya sebelum tidur malam, aku membaca-baca kembali pelajaran yang kudapat hari ini sebagai tanggung jawab pengorbanan orangtuaku agar aku bisa sekolah. Dari hasil menjual kue itu, akhirnya aku mampu menabung dan membantu keluargaku. Pernah suatu ketika, ketika setiap tahun baru tiba, ibu akan memakai salung batik terbaiknya, ia tidak mampu membeli yang baru sehingga usia kain batik yang ia pakai saat menikah dengan ayahku itu, terus ia simpan hingga menua dan robek dimana-mana, ia harus menambalkan benang agar tertutupi.
aku tau, ibu bukan tidak ingin membeli pakain terbaik untuknya, tapi ia menahan dirinya untuk kehidupan anak-anaknya agar dapat makan dan bersekolah, sehingga ia rela menerima keadaan pakaian yang selalu ia syukuri sebagai hadiah pernikahan terindahnya. Aku merasa sedih karenanya, dan bertekad untuk memberikan kain salung baru untuk ibu bila aku memiliki uang.
Aku menabung sedikit demi sedikit jeripayahku berdagang kue untuk memberikan salung batik untuk ibuku di hari ulangtahunnya yang akan datang beberapa saat lagi, saat uangku terkumpul, aku memberi kain salung itu dari nona china di kota berjalan tanpa lelah hingga pulang kemudian membangunkan ibuku yang sedang tertidur dengan sebuah hadiah kecilku. Ibu menitihkan air mata menerima kado kecilku dan aku terharu bisa memberikan hadiah itu sambil mengucapkan selamat ulang tahun padanya. Kami berpelukan dan mengucap syukur atas apa yang diberikan Tuhan walau masa sulit kemiskinan masih bergelut bersama kami.
ibu mengatakan padaku sambil berbisik sebelum kami tidur.
” Setiap apa yang kamu dapatkan dan kamu tabung, jadikanlah itu berarti bagi orang lain setidaknya bagi orang-orang yang mencintai kamu “
aku mengingat kalimat itu dalam-dalam di hatiku dan berharap kelak bisa melakukan apa yang ibu inginkan.
***
Ternyata dari berdagang kue, banyak orang yang mulai mengenalku dan itu adalah sebuah harapan di masa depanku. Aku mulai berpikir untuk mencoba menjual makanan lain selain kue yang kupunya dan terlintas olehku untuk membantu menjual sayur mayur kepada ibu-ibu di kampung yang akan memasak di pagi hari, karena kebanyakan pembeliku adalah ibu-ibu rumah tangga. Kebetulan ketika aku duduk di kelas 4 saat itu, sekolahku menjadi masuk pukul 10 pagi, dan sekali lagi aku meminta izin kepada ayahku untuk tidak ikut membantu dia pagi-pagi di sawah dan ingin menjual kue sekaligus sayur mayur.
Ayah tidak menolak keinginanku asal aku harus bisa membagi waktuku dengan sekolah, gayung bersambut, aku pun mulai mencari tau bagaimana mencari sayur mayur segar. Ternyata aku harus bangun pukul 4 subuh dan menuju pasar sayur dekat desa terdekat. Kebetulan aku pernah menjual kue padanya dan ia percaya padaku. Hingga akhirnya aku pun resmi menjadi padagang sayur keliling ke rumah-rumah dengan kue bersertanya. Dengan sebuah tongkat yang kujinjing di punggung, lalu di kedua ujungnya kuikatkan tampan, aku berkeliling ke desa-desa sambil berteriak
“ Sayur segar, kue masih segar dan hangat.. ayo dibeli..” teriaku setiap pagi.
***
Dari berdagang kue dan sayur yang kujalani hingga akhirnya aku lulus sekolah dasar. lalu aku ingin memutuskan menjadi pedagang sungguhan, tapi sayangnya karena kekurangan modal maka aku memutuskan untuk berkerja di sebuah perusahaan belanda menjadi perantara lada dan kopi dekat TelukBetung sembari menabung setiap sen gajiku. Aku berkerja di sana hingga keluar saat usiaku 20 tahun, setelah memiliki cukup modal untuk menjadi pedagang perantara kopi, karet dan lada di desaku Kaliandra. Semua yang aku lakukan untuk menjadi seorang pedagang ternyata tidak berjalan dengan baik, keadaan ekonomi yang buruk membuatku mengalami kegagalan dalam berusaha hingga akhirnya memutuskan untuk melihat kota Batavia yang sedang maju pesat saat itu sebagai kota perdagangan.
Dengan penuh kesedihan dan air mata, aku meninggalkan keluargaku. Di Batavia berkat bantuan seorang teman, akhirnya aku mendapatkan pekerjaan sebagai “Training Salesman” setelah perusahaan itu melihat pontesiku dalam berdagang lewat sejarah hidupku. Aku memegang pelatihan untuk area lampung, Bengkulu, Palembang dan jambi. Disinilah kondisiku keuanganku membaik dan aku mulai menabung sedikit demi sedikit untuk masa depanku. Berkerja di Jakarta membuatku rindu dengan keluarga, Tuhan mendengarkan jawabku ketika akhirnya sebuah pekerjaan ditawarkan kepadaku untuk menjadi salesman di sebuah apotek besar di sumatra yang tak jauh dari desaku.
Dari berdagang keliling obat itulah akhirnya aku belajar bagaimana menjadi seorang pedagang yang cerdik dan pandai melihat keadaan. Di radio dan mulut ke mulut terdengar kalau Jepang telah mengusai Singapura dan sesaat lagi akan mengambil daerah Sumatra, sehingga Belanda akan menyerah. Pada saat itu aku mengerti benar kalau jepang tidak akan suka produk obat-obatan eropa ada di tanah jajahanya, instingku benar, ketika jepang masuk ke Sumatra, Belanda hengkang. Banyak orang-orang eropa yang pindah keluar negeri dan secara otomatis banyak obat-obatan yang berhenti berproduksi.
Aku membeli semua produk obat-obatan eropa dengan harga murah dari pedagang yang tak ingin menjadi sasaran Jepang dan menimbunya dirumahku. Karena kebutuhan akan obat-obat Eropa begitu tinggi saat itu dari masyarakat, aku mendapatkan keuntungan berlipat ganda ketika menjualnya. Dari situlah aku mendapaktan laba yang banyak hingga akhirnya dari keuntungan itu kuputuskan untuk mencoba mengenang masa kecilku dengan menjadi pedagang perantara karet, lada dan kopi yang tetap menjadi komoditi penting di daerahku.
Tahun 1942, bersamaku kakakku, aku mendirikan perusahaan Bakrie & Brother General Mechant and Commission Agent untuk daerah teluk betung, Lampung. Sayang perusahaan itu harus berganti nama karena Jepang tidak suka berbau barat, sambil memikirkan kedepannya aku terus berjuang terhadap perusahaanku. Walau memiliki perusahaan, aku harus tetap bangung jam 1 pagi untuk memastikan hasil daganganku sampai ke kota yang memesannya di kereta api. Setelah itu aku baru bisa tenang menatap pagi hari. Setelah Jepang kalah dalam perang dunia ke dua, Aku memutuskan untuk pindah kembali ke Batavia yang telah berubah menjadi Jakarta setelah menutup perusahaan di lampung.
Disinilah aku berharap kelak impianku menjadi lebih baik dan sukses dimulai. Aku mengganti perusahaanku menjadi Jasumi Shokai untuk mempermudah izin oleh pemerintah jepang. Setelah Jepang meninggalkan Indonesia aku mendapatkan kesempatan untuk memberi perusahaan lain yang akan bangkrut bernama CV Kawat. Dan saat itulah impianku untuk menjadi orang sukses berjalan dengan perlahan-lahan hingga 14 tahun lamanya akhirnya Tuhan memberikan karunia yang tinggi kepadaku untuk menjadi pedagang yang tidak hanya menjelajahi tanah air tapi hingga ke Negara lain.
Aku menikah dengan seorang perempuan yang kucintai bernama Roosniah dan melahirkan 3 putra dan 1 putri. Kelahiran anak-anakku membuatku mendapatkan bintang keberutungan dan memiliki segalanya dalam hidup, walau terkadang aku masih mengingat masa-masa sulit kecilku. Tapi aku percaya bahwa tidak ada yang mustahil di dunia ini dengan sebuah ketekunan dan bersikap baik serta jujur.
satu hal yang akan kutanamkan kepada anak-anakku seperti yang ibu tanamkan padaku tetaplah kalimat yang sama selalu kukenang
“ Setiap apa yang kamu dapatkan dan kamu tabung, jadikanlah itu berarti bagi orang lain setidaknya bagi orang-orang yang mencintai kamu “
In memorial Achmad Bakrie 1916-1988, pendiri perusahaan Bakrie.
Tulisan ini hanya terinspirasi dari berbagai sumber bacaan dan diadaptasi lewat bahasa novel oleh Agnes Davonar yang begitu salut akan perjuangan kehidupan sang tokoh.
via http://fiksi.kompasiana.com/prosa/2010/12/24/hadiah-untuk-ibu-ku-kisah-yang-terinspirasi-dari-pendiri-bakrie/
Mantap inspirasi dari Pak Bakrie mengenai kado untuk ibu....
BalasHapus