Tristan Alif, saat berlatih dan ditonton teman-temannya di Bintaro, Jakarta Selatan, Senin (26/3).
Foto; Agus Wahyudi/JAWA POS
Gara-gara video di YouTube
yang memperlihatkan bakat istimewanya dalam mengolah bola, Tristan Alif
Naufal kini jadi rebutan banyak pihak. Tengah menunggu jawaban dari
Deportivo La Coruna.
RAGIL UGENG, Jakarta
SEMBARI mengarahkan laptopnya, Ivan Trianto menunjukkan kepada Jawa Pos
yang menemuinya di rumah e-mail dari klub juara La Liga Spanyol musim
1999-2000 Deportivo La Coruna. Isi surat elektronik tersebut permintaan
kepada suami Irma Lansano itu agar menyerahkan data diri serta
konfirmasi tentang si putra, Tristan Alif Naufal, yang videonya dilihat
pihak Super Depor "julukan Deportivo" di YouTube.
"Saya sudah mengirimkan apa yang diminta mereka. Tapi, sampai sekarang
Deportivo belum memberikan balasan lagi. Saya juga tidak tahu bagaimana
mereka mendapat e-mail saya," ucap pria yang rutin menonton tayangan
sepak bola di televisi tersebut.
Kedua orang tua Tristan memang merasa perlu membawa si anak ke luar
negeri secepatnya. Selain agar bocah tujuh tahun itu memiliki kesempatan
yang panjang untuk berkembang, langkah tersebut juga dianggap sebagai
upaya "menyelamatkan" Tristan.
Maklum, bocah kelahiran 12 Desember 2004 itu tengah menjadi incaran
banyak pihak. Gara-garanya, video yang diunggah di YouTube, yang hingga
kini belum diketahui siapa pengunggahnya, memperlihatkan keistimewaan
bakat Tristan dalam olah bola. Setidaknya ada empat video tentang
Tristan di situs video tersebut yang membuat bocah penggemar dua pilar
Liverpool, Steven Gerrard dan Luis Suarez, itu dijuluki banyak pihak
Wonderkid atau Messi dari Indonesia.
Misalnya di video bertajuk Tristan Alif Naufal, Indonesian Football Star
on the Making, dribbling bocah yang mulai mengenal bola di usia tiga
tahun dengan bermain-main di halaman rumah tersebut sungguh menawan.
Gerakan roulette de Zidane (melewati lawan dengan memutar badan sembari
membawa bola) khas pemain legendaris dari Prancis Zinedine Zidane yang
sulit itu pun bisa dengan gampang ditirukan. Akurasi passing-nya juga
mengagumkan.
Tristan pun cakap ber-juggling ria. Seperti disaksikan langsung Jawa Pos
di halaman rumah orang tuanya di Jakarta beberapa hari lalu, anak
sulung di antara tiga bersaudara itu memamerkan skill-nya melakukan neck
stall alias menangkap bola dengan tengkuk.
Selain karena si bocah memang berbakat dan punya keinginan kuat untuk
menjadi pesepak bola, kemampuan Tristan terasah berkat, salah satunya,
didikan sang paman yang seorang freestyler, Sahat Kokoh. Dua kali dalam
seminggu Sahat mengajari keponakannya itu. Juggling, misalnya. Dalam
sekali aksi Tristan diwajibkan melakukan juggling 15 kali dengan bola
tak boleh jatuh.
Jika Tristan berhasil, latihan lantas ditingkatkan hingga 30 kali.
Begitu seterusnya. Trik-trik tersebut diperoleh dari internet. Namun,
tentu bukan perkara mudah mengajari anak berusia tujuh tahun. Sahat
benar-benar harus ekstrasabar. Terutama jika Tristan mengeluh capek atau
sudah mengalami perubahan mood. Jika sudah begitu, dia harus bisa
mencari jalan untuk merayu Tristan agar mau melanjutkan latihan.
"Iming-imingnya cuma es krim. Kalau dia berhasil, saya belikan es krim.
Kalau gagal, dia yang membelikan es krim. Tapi, Tristan nodong orang
tuanya dulu," ujar Sahat, lantas tertawa.
Yang juga membantu mengembangkan bakat Tristan adalah dua akademi sepak
bola milik dua klub besar Inggris, Arsenal (SSI Arsenal) dan Liverpool
(International Football Academy and Soccer Schools). Tristan menjadi
siswa di dua sekolah sepak bola tersebut sejak Juli 2011 dan mendapat
beasiswa mulai tiga bulan kemudian.
Tapi, tercatat di dua akademi itu pula yang belakangan menimbulkan
masalah. Ivan mengungkapkan, ada sedikit perselisihan antara IFAS dan
SSI Arsenal.
Kabarnya, pihak IFAS dan SSI Arsenal sama-sama tak mau melepas Tristan
karena beranggapan memiliki hak. Ivan sangat mengharapkan persoalan itu
selesai secepatnya agar anaknya bisa segera mengenyam pendidikan sepak
bola di luar negeri. Dua pihak tersebut konon siap menjembatani Tristan
untuk berlatih di Arsenal atau Liverpool.
"Tristan dianggap masih di dua kaki. Satu di IFAS, satunya lagi di
Arsenal. Kami mengharapkan masalah itu cepat selesai dan Tristan bisa
secepatnya pergi ke luar negeri," terang Ivan.
Ditemui secara terpisah, Direktur SSI Arsenal Iman Arif membantah kabar
adanya persoalan yang terkait dengan Tristan antara SSI Arsenal dan
IFAS. "Tristan sangat potensial karena umurnya masih tujuh tahun.
Skill-nya di atas rata-rata. Sementara masih dalam tahap pemantauan.
Tapi, tidak ada masalah antara SSI Arsenal dan IFAS," terang Iman.
Kedua orang tua Tristan tak bisa menunggu terlalu lama karena mereka
merasa harus segera mengamankan si buah hati ke luar Indonesia.
Pasalnya, sejak kemunculan video Tristan di YouTube, banyak pihak yang
berusaha mengambil keuntungan.
Celakanya, mayoritas di antara mereka tak berkaitan dengan sepak bola.
Antara lain, production house maupun produk makanan yang berniat
menjadikan Tristan sebagai bintang iklan. Ivan menegaskan tak tergiur
dengan semua tawaran tersebut. Sebab, dia hanya ingin si anak menjadi
pesepak bola, bukan selebriti.
"Kalau saya menerima tawaran itu, akhir bulan ini sudah mulai syuting.
Tristan sendiri juga terganggu. Saya juga sudah memutuskan untuk
menyetop tawaran syuting dari beberapa televisi. Anak saya biar bermain
bola saja," imbuh Ivan.
Sebenarnya, bukan hanya Tristan yang terganggu dengan berbagai "teror"
dari pihak-pihak tersebut. Ivan juga turut menjadi korban. Pasalnya,
hampir tiap hari dia mendapat telepon yang meminta kesediaannya melepas
Tristan kepada pihak-pihak itu. Pekerjaan Ivan pun terganggu.
"Saya sampai memutuskan untuk cuti seminggu. HP juga saya matikan. Itu benar-benar di luar dugaan kami," ucapnya.
Untung, di tengah berbagai gangguan itu, semangat Tristan tak redup.
Dalam seminggu, dia rutin berlatih dua kali di dua SSB tersebut. Yakni,
Jumat dan Minggu di IFAS serta Kamis dan Minggu di SSI Arsenal.
Kemampuan Tristan juga sudah diakui di dua klub itu. Buktinya, Tristan
selalu tampil di kejuaraan KU-10, bukan KU-8 yang sebenarnya sesuai
dengan umurnya. Namun, Ivan mengatakan bahwa badan Tristan masih
tergolong pendek.
Karena itu, atas anjuran salah seorang anggota keluarga yang menjadi
dokter, Tristan bakal disuntik obat peninggi. Tapi, itu baru akan
dilakukan saat Tristan berusia delapan tahun. Tujuannya, Tristan bisa
lebih tinggi.
Tristan, seperti umumnya bocah seumurannya, tentu tak terlalu memikirkan
berbagai rencana yang disiapkan untuknya. Bagi dia, yang terpenting
adalah bisa terus mengolah si kulit bundar.
Soal pilihan tempat mengasah kemampuan, dia mengaku lebih senang
berlatih di Liverpool ketimbang klub lain. Alasannya sederhana:
Pemain-pemain pujaannya ada di klub Inggris tersukses di kejuaraan Eropa
tersebut.
"Saya suka Gerrard (Steven Gerrard) sama Luis Suarez. Messi juga suka.
Kalau Indonesia, saya suka Andik Vermansyah," ucap Tristan.
Meski terfokus ke sepak bola, Ivan sama sekali tak melupakan urusan
sekolah bagi Tristan. Dia tetap berusaha agar pendidikan si anak tak
tertinggal.
Karena itu, tiap Sabtu Tristan tak boleh bermain sepak bola. "Dia les.
Tristan sendiri juga sangat senang kalau ikut les. Dia marah-marah kalau
sampai bolos," tegasnya. (*/jpnn/c11/ttg)
via http://www.jpnn.com/read/2012/03/31/122632/Tristan-Alif-Naufal-yang-Dijuluki-Messi-dari-Indonesia-